Oleh : Ehdra Beta Masran
Hal pertama yang terpikir oleh penulis bersumber dari hipotesis sederhana bahwa pariwisata sebenarnya tidak menggerus keberadaan rumput laut dimanapun tempat wisata tersebut berada.
Beberapa waktu lalu penulis mendapat chat pribadi dari seorang junior sewaktu kuliah dahulu, yang saat ini bekerja sebagai support attendant and conservation di salah satu perusahaan pariwisata di Bintan, Kepulauan Riau.
Pertanyaan sebenarnya belum bisa penulis jawab, jika mengarah kepada spesifikasi yang penulis miliki. Walaupun begitu, ada banyak pengalaman terkait hal tersebut yang pernah penulis alami.
Pertanyaannya adalah "Bagaimana jika disuatu perairan terdapat banyak sargassum, Apakah menghambat terhadap ruang hidup karang?”.
Budidaya Rumput Laut, Foto : Wikipedia |
Penulis langsung mencari referensi dan mengingat pengalaman tentang sargassum atau rumput laut atau disebut juga alga coklat.
Pada dasarnya di belahan Indonesia bagian tengah, keberadaan rumput laut sangat penting sebagai penggerak roda ekonomi masyarakat pesisir, salah satunya di Nusa Penida Bali.
Penulis memiliki referensi banyak terkait hal ini. Terlebih orang - orang dengan pengalaman besar yang penulis anggap sebagai bapak sendiri, seperti pak Suwarbawa dan pak Ujiana, serta beberapa referensi lainnya.
Ada sedikit cerita menarik yang coba penulis rangkum dari pembelajaran di Nusa Penida. Rumput laut sangat penting sejak dahulu disana. Dengan berjalannya waktu, rumput laut menjadi commodity besar yang ada di pulau kecil di Provinsi Bali tersebut.
Rumput laut mulai berkembang di Lembongan kurang lebih Tahun 1984. Diawali oleh kedatangan seorang peneliti yang bernama “Pak Bambang” yang mencoba menanami jenis E. Spenosum dan E. Cottonie.
Disinilah menjadi awal perubahan pola kehidupan dan ekonomi masyarakat Nusa Lembongan (Ujiana, 2016).
Baca Juga : Sekilas Pencemaran Udara
Baca Juga : Sekilas Pencemaran Udara
Pak Bambang membawa rumput laut jenis E. Cottonie dan E. Spenosum untuk dikembangakan di Nusa Lembongan. Momen ini menjadikan perubahan persepsi masyarakat, beralih menjadi petani rumput laut”.
Seluruh masyarakat petani berbondong ikut serta dalam pengembangan rumput laut. Mulai dari mencoba menanam sampai dengan fokus melakukan pengembangan budidaya rumput laut itu sendiri.
Pada saat itu masyarakat sangat masyhur dengan perkembangan rumput laut dan menjadi awal perubahan dari pola pikir, pola kehidupan, budaya dan ekonomi masyarakat di Pulau Lembongan dan Ceningan.
Perubahan ekonomi terjadi sangat signifikan.
Menurut Ujiana, banyak masyarakat Lembongan yang menjadi kaya raya dari hasil budidaya rumput laut. Mereka bukan hanya membeli rumah dan tanah di Kota Bali, tetapi juga banyak anak dari mereka dapat bersekolah hingga ke bangku perkuliahan.
Perubahan bentuk bangunan rumah menjadi salah satu bukti nyata perkembangan rumput laut di zaman itu. Harga rumput laut pada saat itu, berkisar pada range Rp. 1000 rupiah. Tentu saja pada saat itu termasuk harga tertinggi.
Rumput laut yang dibudidayakan di Lembongan mengalami kenaikan antara tahun 1990 sampai dengan 2005. Jenis E.cottonie dan E. Spenosum tumbuh subur di Perairan Kecamatan Nusa Penida, khusunya, Nusa Lembongan dan Ceningan.
Bukan hanya masyarakat yang bekerja sebagai petani rumput laut, tetapi juga masyarakat yang memiliki pekerjaan seperti guru, karyawan hotel dan pekerjaan lain ikut serta dalam pengembangan rumput laut.
Sejarah tentang awal mulanya pembudidaya tersebut, menjadi cerita yang selalu diketahui secara turun temurun. Setiap kaum antara umur 35-70 tahun masih menganggap pak Bambang sebagai pahlawan di Lembongan yang memberi pengaruh besar dalam sejarah perkembangan rumput laut.
Pengaruh yang telah diberikannya terukir tajam dalam ingatan oleh setiap insan yang ada di Nusa Lembongan, Nusa Penida dan Ceningan. Tidak akan pernah terlupakan, walaupun kehidupan memaksa perubahan.
Perubahan yang tidak dapat diindahkan.
Dalam perkembangannya budidaya rumput laut yang dilakukan oleh petani, mengalami pasang surut. Mulai disebabkan diagram pertumbuhan, pasar dan harga rumput laut yang selalu menurun, terutama harga rumput laut di Bali pada umumnya.
Hal itu berbanding lurus dengan perubahan persepsi lingkungan masyarakat rumput laut yang ada di Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung Provinsi Bali.
Pola pikir masyarakat Lembongan, mulai mengarah kepariwisata, meninggalkan potensi sumber daya alam yang dahulunya menjadi primadona.
Tidak ada lagi rumput laut yang diagung - agungkan, tidak ada lagi masyarakat yang menjadi owner di bisnisnya sendiri.
Namun pada dasarnya, menurut salah satu inisiator rumput laut Nusa Penida, pak Malimali ”secara lingkungan tidak ada pengaruh berkembangnya rumput laut dengan jumlah keindahan bawah laut Nusa Penida, khususnya Terumbu karang dan biota biota laut yang menjadi pariwisata di Nusa Penida sendiri.
Terumbu karang sudah indah dengan pertumbuhan yang baik seiring dengan perkembangan rumput laut di Nusa Penida, bahkan pariwisata lah yang memeberi tekanan terhadap pengurangan rumput laut di Nusa Penida, tambahnya".
Bergeser jauh ke timur nan tenang, salah satunya di Kabupaten Kepulauan Aru, tepatnya di pulau - pulau kecil terluar, rumput laut disana tumbuh, itu terbukti dengan adanya petani rumput laut di Desa Warabal Pulau Panambulai.
Seorang ibu dari marga Mangar sangat getol tetap menanam rumput laut. Ibu tersebut menjadi satu - satunya petani rumput laut yang masih bertahan dengan kekejaman harga rumput laut yang begitu menusuk sendi ekonominya, bahkan tidak bisa menghidupi keluarganya.
Namun yang terpenting, rumput laut tetap tumbuh di balik keindahan terumbu karang Pulau Indah Terluar tersebut.
Pengurangan ekosistem penting terumbu karang terjadi karena tidak adanya sumber batu alam yang digunakan masyarakat untuk membangun sarana tinggal di pulau tersebut.
Masyarakat “terpaksa” mengambil terumbu karang sekitar untuk material batu pembangunan rumah mereka.
Cerita tersebut dikuatkan oleh pemikiran penulis untuk menjawab pertanyaan di awal tulisan.
Baca Juga : Save Pulau Tikus, Deddy Bakhtiar: Selamatkan Pulau atau Terumbu Karang
Baca Juga : Save Pulau Tikus, Deddy Bakhtiar: Selamatkan Pulau atau Terumbu Karang
Pada dasarnya surgasum atau rumput laut atau alga coklat tidak memperburuk perairan, namun semua jenis rumput laut harus memiliki tempatnya sendiri, karena kalau jenis rumput laut tertentu mendominasi, maka pertumbuhan jenis karang hermatifik terganggu.
Hal ini berarti perairan tempat tumbuh rumput laut yang kebetulan tempat wisata itu sangat bagus, karena pertumbuhan alga coklat itu tumbuh pada kualitas perairan yang sangat baik.
Pada dasarnya rumput laut tidak mengganggu perairan dan terumbu karang. Namun jika pada tempat wisata, pertumbuhan nya harus dibatasi karena akan menghambat terumbu karang khususnya dalam fotosintesis.
Jadi tinggal menempatkan pada spot yang penting saja. Terumbu karang memang sangat penting dan menjadi daya tarik sendiri untuk pariwisata, namun rumput laut juga sangat penting. Apabila kedua hal tersebut dipadukan, kemungkinan akan menjadi magnet spot tersendiri untuk pariwisata seperti pariwisata edukasi.
Pengembangan wisata penyelaman dan pengembangan budidaya rumput laut dapat dipadukan, mencampurkan keidahan bawah laut dengan nilai edukasi dari penanaman rumput laut serta tracking ke hutan mangrove adalah wisata bahari sesungguhnya.